Rabu, 06 Mei 2009

ROTI VS MIE n NASI
Roti yang tadinya dianggap sebagai makanan para sinyo dan noni Belanda di zaman penjajahan, kini sudah jadi makanan pokok kedua setelah nasi. Kandungan gizi produk olahan dari tepung ini unggul dibandingkan dengan nasi dan mi. Bahkan ada jenis roti, yang selain kaya serat, mengandung omega-3 yang berfungsi sebagai penangkal berbagai penyakit degeneratif. Di dalam ilmu pangan, roti dikelompokkan dalam produk bakery, bersama dengan cake, donat, biskuit, roll, kraker, dan pie. Di dalam kelompok bakery, roti merupakan produk yang paling pertama dikenal dan paling populer di jagat raya hingga saat ini.Sama halnya seperti di belahan dunia lain, budaya makan roti juga berkembang di Indonesia. Memang, mula-mula hanya pada kelompok masyarakat tertentu. Itu pun sebatas sebagai pengganti nasi pada saat sarapan pagi, yang umumnya disajikan bersama-sama dengan telur dadar atau segelas susu. Fenomena gandrung roti kemudian menjalar ke kelompok masyarakat sibuk, yaitu yang harus terburu-buru ke tempat kerja. Dalam kondisi demikian, setangkap roti isi selai dan mentega atau keju menjadi pilihan sarapan pagi paling praktis, yang bisa dimakan di mobil dalam perjalanan ke kantor. Seiring dengan berjalannya waktu, roti akhirnya tidak lagi dikaitkan dengan sarapan pagi, tetapi sudah meluas sebagai menu makanan alternatif di segala kondisi dan waktu makan. Roti tidak lagi dinikmati di pagi hari, tetapi juga di siang hari, malam hari, atau sebagai snack di antara dua waktu makan. Begitulah, roti berkembang menjadi suatu budaya makan di Indonesia, sehingga pada akhirnya kita dengan mudah mendapatkan roti di hotel, restoran, warung pojok, pedagang kaki lima, dan juga di kios-kios penjual rokok. Roti juga dijajakan ke kompleks perumahan dan perkampungan melalui berbagai sarana angkutan (mobil boks, kereta dorong, atau sepeda) dengan iringan musik yang sangat khas sebagai penanda bagi setiap merek dan produsen roti. Bahan PenyusunPada prinsipnya roti dapat dibuat dari berbagai jenis tepung, seperti terigu, jagung, beras, garut, singkong, dan lain-lain. Namun, dalam praktiknya, terigu merupakan bahan baku yang paling ideal untuk pembuatan roti. Komposisi roti tawar umumnya terdiri dari 57 persen tepung terigu, 36 persen air, 1,6 persen gula, 1,6 persen shortening (mentega atau margarin), 1 persen tepung susu, 1 persen garam dapur, 0,8 persen ragi roti (yeast), 0,8 persen malt dan 0,2 persen garam mineral. Berdasarkan kadar proteinnya, terigu dibedakan atas terigu tipe kuat (hard wheat), tipe sedang (medium wheat), dan tipe lemah (soft wheat). Roti umumnya dibuat dari tepung terigu kuat. Maksudnya tepung mampu menyerap air dalam jumlah besar, dapat mencapai konsistensi adonan yang tepat, memiliki elastisitas yang baik untuk menghasilkan roti dengan remah halus, tekstur lembut, volume besar, dan mengandung 12-13 persen protein.Kandungan protein pada terigu tipe kuat paling tinggi dibandingkan dengan terigu tipe lainnya. Dalam pembuatan roti, penggunaan terigu tipe kuat lebih disukai karena kemampuan gluten (jenis protein pada tepung terigu) yang sangat elastis dan kuat untuk menahan pengembangan adonan akibat terbentuknya gas karbondioksida (CO2) oleh khamir Saccharomyces cereviseae. Semakin kuat gluten menahan terbentuknya gas CO2, semakin mengembang volume adonan roti. Mengembangnya volume adonan mengakibatkan roti yang telah dioven akan menjadi mekar. Hal ini terjadi karena struktur berongga yang terbentuk di dalam roti. Gula, walaupun dalam jumlah sedikit, perlu ditambahkan ke dalam adonan. Sebab, gula dapat berperan sebagai sumber karbohidrat untuk mendukung pertumbuhan ragi roti (Saccharomyces cereviseae), yang akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2) dalam jumlah cukup untuk mengembangkan volume adonan secara optimal. Shortening (mentega atau margarin) ditambahkan ke dalam adonan untuk memudahkan pembentukan adonan, serta melunakkan tekstur dan mencegah staling roti. Penambahan tepung susu dimaksudkan untuk memperbaiki tekstur dan meningkatkan kadar protein roti. Penambahan garam untuk memperbaiki cita rasa dan juga mendukung pertumbuhan khamir Saccharomyces cereviseae dalam menghasilkan gas karbondioksida. Proses Pembuatan Proses pembuatan roti tawar secara garis besar meliputi proses pencampuran (mixing), proses pengadonan (kneading), fermentasi, pencetakan (rounding) dan pemanggangan (roasting). Suhu optimum fermentasi adonan adalah 27oC. Setelah difermentasi, adonan kemudian dibentuk, ditimbang, dan dimasukkan ke dalam loyang. Selanjutnya loyang didiamkan (proofing) pada suhu 32-38oC dengan kelembaban relatif 80-85 persen selama 15-45 menit. Setelah itu, adonan siap untuk dipanggang dengan menggunakan oven. Selama pengadukan adonan, fermentasi, proofing, dan pada awal proses pemanggangan, ragi roti tumbuh dengan pesat dan menghasilan sedikit etanol dan gas CO2. Etanol yang dihasilkan akan menguap selama pemanggangan, sedangkan gas CO2 ditahan oleh gluten terigu sehingga roti mengembang.Selama penyimpanan, roti mudah mengalami kerusakan akibat tumbuhnya jamur (kapang). Untuk mencegah hal tersebut, dalam pembuatan roti perlu ditambahkan zat yang dapat menghambat pertumbuhan jamur, yaitu sodium propionat atau kalsium propionat dengan kadar 0,32-0,38 persen dari jumlah tepung yang digunakan. Putih dan CokelatRoti dapat dibedakan atas roti putih (white bread) dan roti cokelat (whole wheat bread). Roti putih dibuat dari tepung terigu, sedang roti cokelat dibuat dari tepung gandum utuh. Proses pengolahan gandum menjadi terigu akan membuang bagian dedak yang kaya mineral dan serat pangan (dietary fiber). Sesungguhnya Hippocrates pada abad ke-5 Sebelum Masehi telah menduga bahwa roti yang terbuat dari tepung utuh (wholemeal bread) berpengaruh terhadap aktivitas lambung. Dia menyatakan bahwa “roti yang terbuat dari gandum utuh mampu membersihkan usus dan akan keluar sebagai feses, sedang roti putih lebih bergizi, sehingga menghasilkan sedikit feses”. Pada zaman itu bangsa Roma dan Yunani mengenal paling sedikit empat kelas mutu tepung. Roti putih yang berharga lebih mahal dan berpenampakan lebih menarik, dianggap mempunyai nilai gizi lebih baik dibanding jenis roti cokelat. Pendapat tersebut terus bertahan sampai abad ke-19. Ini mudah dimengerti, karena pada saat itu diyakini dedak gandum hanya baik untuk pakan ternak.Beberapa waktu kemudian, sejumlah kecil orang mulai menyadari bahwa sedapat mungkin makanan harus diasup mendekati keadaan alaminya. Pada tahun 1585, Stubs menulis, “Tidakkah kita melihat bahwa orang-orang miskin yang memakan roti cokelat tampak lebih sehat, lebih kuat, dan lebih panjang umurnya daripada orang yang selalu menikmati makanan mewah setiap harinya?”Pada tahun 1683 Tyron menulis buku mengenai pengaruh roti yang terbuat dari gandum utuh terhadap kesehatan, umur panjang, dan kebahagiaan. Hal tersebut dihubungkan dengan kemampuan serat dari roti dalam menstimulasi aktivitas lambung.Tahun 1837 Sylvester Graham menulis sebuah buku yang sangat terkenal mengenai pentingnya roti “wholemeal ” sebagai makanan alami. Karena itu, roti yang terbuat dari gandum utuh itu di Amerika Serikat dikenal dengan nama roti graham. Di Inggris, roti graham dikenal luas setelah Ratu Victoria mulai mengonsumsinya tersebut pada tahun 1847.Saat ini perhatian masyarakat dunia terhadap serat pangan sangat besar. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa banyak penyakit yang timbul akibat rendahnya konsumsi serat pangan di negara-negara maju. Penyakit-penyakit “modern” tersebut dikenal dengan istilah “Disease of Western Civilization”. Termasuk ke dalam kelompok penyakit ini antara lain diabetes melitus, batu empedu, obesitas, radang usus buntu, kanker usus besar, penyakit divertikulosis, hiatus hernia, pembuluh mekar (varicose vein), hemoroid, dan penyakit pembuluh darah iskemik.Timbulnya kesadaran bahwa serat penting untuk kesehatan, masyarakat akhirnya dapat menerima kehadiran roti yang terbuat dari tepung gandum utuh atau yang dalam pembuatannya sengaja ditambahkan dedak (yang merupakan limbah dalam pengolahan gandum menjadi terigu).

Tidak ada komentar: